Perusahaan Internet Terbesar di dunia yaitu Google baru-baru ini mengeluarkan platform luar biasa. Pasalnya, Google mengungkap kehadiran Stadia, yang merupakan platform streaming game tanpa download maupun spek tinggi dan diperkirakan bisa menyaingi PS4 Pro maupun Xbox One X.
Namun, Stadia bukanlah konsol seperti kedua saingannya tersebut. Google Stadia merupakan sebuah platform streaming game yang memiliki kekuatan lebih dari 7.500 datacenter Google di seluruh dunia. Oleh karena itu, kamu bisa memainkan game high-end dengan grafis memukau sekalipun dengan menggunakan laptop biasa bahkan smartphone.
Memang sebelumnya sudah ada beberapa platform yang menawarkan layanan streaming game seperti Onlive (sekarang sudah ditutup sejak diakuisisi Sony), atau platform lokal seperti Emago dan Skyegrid. Bedanya, Google menyatakan bahwa game yang akan dimainkan lewat Stadia harus melalui proses porting terlebih dahulu, sehingga ini berarti Google Stadia memang khusus dikembangkan untuk memanfaatkan kekuatan platform tersebut.
Agar bisa memainkan game-game Stadia, Google menyatakan itu hanya semudah memencet tombol. Jadi misalnya kamu streaming gameplay di Youtube, kamu tinggal mengklik tombol Play di akhir video, maka dalam 5 detik kemudian game akan bisa kamu mainkan tanpa bersusah payah mendownload.
Google telah memperkenalkan Stadia pada pertengahan maret kemarin dalam acara Game Developer Center 2019 (GDC 2019) yang dilaksanakan di Moscone Center, San Francisco. Selain itu, mereka juga memperkenalkan kontroller spesial yang terhubung dengan layanan Stadia.
Media internet populer duniaku.net berkesempatan untuk hadir dalam acara tersebut dan merasakan bagaimana performa dari Stadia. Berikut ini ulasannya.
1. Kapan Stadia akan dirilis?
Masih belum ada tanggal resmi dari Google kapan platform Stadia ini dirilis. Namun, saat penulis mewawancarai salah satu staff Google di demo Stadia, mereka menyatakan bahwa Stadia akan segera dirilis tahun ini juga, meskipun masih terbatas untuk beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian Eropa Saja.
Belum ada kepastian juga apakah saat perilisan nanti Stadia akan langsung beroperasi secara penuh, ataukah hanya sekedar menguji seperti yang digelar Google akhir tahun lalu dengan Project Stream. Google juga masih merahasiakan berapa harga kontrollernya nanti, atau juga seperti apa model bisnis mereka nanti untuk Stadia.
2. Bisa berjalan di Chromebook dan menggunakan kontroler apa saja
Hal penting yang membuat Stadia menjadi platform “sejuta umat” adalah platform ini hampir bisa berjalan di gadget apapun. Selama acara GDC 2019, Google menggunakan Chromebook yang sebenarnya tidak layak digunakan untuk bermain game.
Contohnya adalah Chromebook bermerek Lenovo yang hanya memiliki RAM 4GB dan ruang penyimpanan SSD hanya 32 GB saja. Bisa dibayangkan jika kamu memainkan game PC sekelas Assassin’s Creed Odyssey di laptop spek kentang seperti itu?
Dengan Stadia, semuanya bisa terwujud!
Karena memang pada awalnya Stadia menjalankan game lewat browser. Jadi, PC, Laptop, maupun smartphone apa saja yang memiliki browser tentu bisa memanikannya. Tinggal melihat saja bagaimana koneksi internetnya.
Untuk kontrollernya, kamu tidak harus memiliki kontroller khusus buatan Stadia untuk memainkannya. Kontroller game PC mu saat ini pun bisa digunakan. Bahkan selama acara GDC 2019, Google menyediakan kontroller Logitech untuk memainkan platform Stadia.
Namun sayang, penulis (juga para pengunjung GDC 2019) masih belum sempat “mencicipi” kontroller asli Stadia. Kontroller tersebut masih terpajang rapi dalam kotak kaca, jadi hanya bisa dilihat saja.
3. Bagaimana Latensinya?
Salah satu hal penting yang menjadi PR bagi penyedia layanan streaming, terutama Stadia adalah masalah latensi. Lantensi adalah jeda waktu yang dibutuhkan dalam pengantaran paket data dari pengirim ke penerima. Semakin tinggi jeda waktu atau latency tersebut maka akan semakin tinggi resiko kegagalan akses. Banyak hal yang menyebabkan tinggi rendahnya latensi, mulai dari jaringan sampai kualitas gadget yang dipakai.
Saat menggunakan Stadia, penulis merasa latensi Stadia sangat rendah, bahkan hampir tidak ada. Assassin’s Creed Odyssey yang di demokan di Stadia nyaris tidak memiliki perbedaan performa dibandingkan versi konsolnya.
Gameplaynya terasa lancar, tidak ada lag sama sekali. Aksi saat kita memencet kontroller pun cukup responsif, nyaris tanpa ada jeda sedikitpun.
Kita tidak tahu apa yang ada dibalik demo Stadia GDC 2019. Barangkali, Google menyediakan internet khusus supercepat hanya untuk demo tersebut. Atau mungkin, satu laptop yang didemokan tersebut memakai satu koneksi yang terpisah. Tentu saja hasilnya suatu saat akan berbeda di masing-masing negara dengan kecepatan internet yang berbeda-beda.
Mengingat bagaimana Google memanfaatkan 7.500 datacenter untuk membangun Stadia (dan beberapa diantaranya ada di Indonesia) untuk memperkuat Stadia, kita berharap platform ini paling tidak bisa lebih stabil dibandingkan platform streaming game lainnya.
Namun, Stadia bukanlah konsol seperti kedua saingannya tersebut. Google Stadia merupakan sebuah platform streaming game yang memiliki kekuatan lebih dari 7.500 datacenter Google di seluruh dunia. Oleh karena itu, kamu bisa memainkan game high-end dengan grafis memukau sekalipun dengan menggunakan laptop biasa bahkan smartphone.
Memang sebelumnya sudah ada beberapa platform yang menawarkan layanan streaming game seperti Onlive (sekarang sudah ditutup sejak diakuisisi Sony), atau platform lokal seperti Emago dan Skyegrid. Bedanya, Google menyatakan bahwa game yang akan dimainkan lewat Stadia harus melalui proses porting terlebih dahulu, sehingga ini berarti Google Stadia memang khusus dikembangkan untuk memanfaatkan kekuatan platform tersebut.
Agar bisa memainkan game-game Stadia, Google menyatakan itu hanya semudah memencet tombol. Jadi misalnya kamu streaming gameplay di Youtube, kamu tinggal mengklik tombol Play di akhir video, maka dalam 5 detik kemudian game akan bisa kamu mainkan tanpa bersusah payah mendownload.
Google telah memperkenalkan Stadia pada pertengahan maret kemarin dalam acara Game Developer Center 2019 (GDC 2019) yang dilaksanakan di Moscone Center, San Francisco. Selain itu, mereka juga memperkenalkan kontroller spesial yang terhubung dengan layanan Stadia.
Media internet populer duniaku.net berkesempatan untuk hadir dalam acara tersebut dan merasakan bagaimana performa dari Stadia. Berikut ini ulasannya.
1. Kapan Stadia akan dirilis?
Masih belum ada tanggal resmi dari Google kapan platform Stadia ini dirilis. Namun, saat penulis mewawancarai salah satu staff Google di demo Stadia, mereka menyatakan bahwa Stadia akan segera dirilis tahun ini juga, meskipun masih terbatas untuk beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian Eropa Saja.
Belum ada kepastian juga apakah saat perilisan nanti Stadia akan langsung beroperasi secara penuh, ataukah hanya sekedar menguji seperti yang digelar Google akhir tahun lalu dengan Project Stream. Google juga masih merahasiakan berapa harga kontrollernya nanti, atau juga seperti apa model bisnis mereka nanti untuk Stadia.
2. Bisa berjalan di Chromebook dan menggunakan kontroler apa saja
Hal penting yang membuat Stadia menjadi platform “sejuta umat” adalah platform ini hampir bisa berjalan di gadget apapun. Selama acara GDC 2019, Google menggunakan Chromebook yang sebenarnya tidak layak digunakan untuk bermain game.
Contohnya adalah Chromebook bermerek Lenovo yang hanya memiliki RAM 4GB dan ruang penyimpanan SSD hanya 32 GB saja. Bisa dibayangkan jika kamu memainkan game PC sekelas Assassin’s Creed Odyssey di laptop spek kentang seperti itu?
Dengan Stadia, semuanya bisa terwujud!
Karena memang pada awalnya Stadia menjalankan game lewat browser. Jadi, PC, Laptop, maupun smartphone apa saja yang memiliki browser tentu bisa memanikannya. Tinggal melihat saja bagaimana koneksi internetnya.
Untuk kontrollernya, kamu tidak harus memiliki kontroller khusus buatan Stadia untuk memainkannya. Kontroller game PC mu saat ini pun bisa digunakan. Bahkan selama acara GDC 2019, Google menyediakan kontroller Logitech untuk memainkan platform Stadia.
Namun sayang, penulis (juga para pengunjung GDC 2019) masih belum sempat “mencicipi” kontroller asli Stadia. Kontroller tersebut masih terpajang rapi dalam kotak kaca, jadi hanya bisa dilihat saja.
3. Bagaimana Latensinya?
Salah satu hal penting yang menjadi PR bagi penyedia layanan streaming, terutama Stadia adalah masalah latensi. Lantensi adalah jeda waktu yang dibutuhkan dalam pengantaran paket data dari pengirim ke penerima. Semakin tinggi jeda waktu atau latency tersebut maka akan semakin tinggi resiko kegagalan akses. Banyak hal yang menyebabkan tinggi rendahnya latensi, mulai dari jaringan sampai kualitas gadget yang dipakai.
Saat menggunakan Stadia, penulis merasa latensi Stadia sangat rendah, bahkan hampir tidak ada. Assassin’s Creed Odyssey yang di demokan di Stadia nyaris tidak memiliki perbedaan performa dibandingkan versi konsolnya.
Gameplaynya terasa lancar, tidak ada lag sama sekali. Aksi saat kita memencet kontroller pun cukup responsif, nyaris tanpa ada jeda sedikitpun.
Kita tidak tahu apa yang ada dibalik demo Stadia GDC 2019. Barangkali, Google menyediakan internet khusus supercepat hanya untuk demo tersebut. Atau mungkin, satu laptop yang didemokan tersebut memakai satu koneksi yang terpisah. Tentu saja hasilnya suatu saat akan berbeda di masing-masing negara dengan kecepatan internet yang berbeda-beda.
Mengingat bagaimana Google memanfaatkan 7.500 datacenter untuk membangun Stadia (dan beberapa diantaranya ada di Indonesia) untuk memperkuat Stadia, kita berharap platform ini paling tidak bisa lebih stabil dibandingkan platform streaming game lainnya.
0 komentar