Mengungkap Hikikomori, Petapa Modern dari Jepang

Kalian pasti pernah dengar orang Jepang yang mengurung diri selama berbulan-bulan tanpa bersosialisasi. Yuk kenalan dengan fenomena yang disebut hikikomori ini.

“Aku mulai menyalahkan diriku sendiri, dan juga orang tuaku karena aku gagal lanjut sekolah. Aku mulai merasa semakin tertekan. Lalu secara perlahan-lahan, aku mulai takut keluar, takut ketemu orang-orang. Pada akhirnya, aku jadi enggak bisa keluar rumah,” ujar Hide, seorang anak muda Jepang saat diwawancarai BBC.

Hide memutuskan semua jalur komunikasi dengan teman-temannya, lalu orang tuanya sendiri. Bahkan, untuk menghindari pertemuan dengan orang tuanya, ia tidur seharian dan beraktivitas malam hari, nonton tv.

“Aku merasa dipenuhi energi negatif. Enggak punya keinginan untuk keluar rumah, marah sama semua orang dan orang tua, sedih sama kondisi kayak begini, juga takut gimana masa depanku nanti, dan cemburu pada orang yang hidup normal,” katanya.

Hide telah menjadi hikikomori.

Hikikomori secara harfiah berati “menarik diri” atau “membatasi diri”. Hikikomori adalah istilah Jepang untuk menyebutkan fenomena orang-orang yang menarik diri dari kehidupan sosial dan mengisolasi dirinya sendiri agar tidak berhubungan dengan orang lain.

Selain fenomena, istilah ini juga merujuk pada orang yang menderita.

Fenomena ini marak dibahas dua dekade terakhir, sejak seorang psikiater bernama Tamaki Saito kedatangan sejumlah orang tua pada tahun 90-an. Orang tua tersebut mengeluh pada Saito tentang anaknya yang mengurung diri di kamar berhari-hari, bahkan dalam beberapa kasus hingga berbulan-bulan.

Pada awalnya, Saito mendiagnosa mereka mengalami kelainan jiwa dan depresi. Baru pada tahun 1998, setelah meneliti banyak kasus, ia memberi nama “hikikomori” untuk menjelaskan fenomena ini.

Penelitian dan fenomena hikikomori ini sebenarnya sudah dimulai sebelum Saito. Tahun 1978, Kasahara dalam penelitiannya menyebut kasus ini “sakit saraf ringan yang membatasi diri” sementara di tahun 80-an, Lock menyebutnya “sindrom menolak sekolah”. Baru sejak penelitian Saito-lah, media lokal dan internasional menggunakan istilah “hikikomori”.

Jika merujuk pada kriteria kementerian kesehatan Jepang, hikikomori biasanya melakukan segala aktivitas di rumah; tidak ada keinginan untuk sekolah dan kerja, durasi mengurung diri minimal 6 bulan; dan mempunyai sedikit atau tidak sama sekali teman.

Mereka tersebut menurut Saito, biasanya beraktivitas pada malam hari—seperti Hide—dengan bermain game, nonton anime, baca komik, atau dalam kasus ekstrem, menculik gadis kecil untuk menemaninya di dalam kamar.

Fenomena yang telah membudaya di masyarakat Jepang ini dinilai oleh media dan banyak peneliti sebagai penyakit sosial. Namun fenomena ini tidak spesifik berkaitan dengan gangguan kejiwaan tertentu.

Psikolog Alan Robert Teo dalam jurnalnya mengatakan mayoritas dari hikikomori ini menderita banyak jenis gangguan kejiwaan seperti autisme dan anxiety disorder.

Sementara di tempat lain, jurnalis Michael Zielenziger yang melakukan wawancara terhadap hikikomori dalam bukunya Shutting Out the Sun: How Japan Created Its Own Lost Generation mengatakan hikikomori lebih dekat dengan posttraumatic stress disorder atau gangguan jiwa setelah mengalami trauma.

Baca Juga :

Pada tahun 2010, pemerintah Jepang menghitung secara kasar jumlah hikikomori mencapai angka 700 ribu jiwa dengan rata-rata usia 31 tahun. Yang paling tua di antara mereka (disebut sebagai generasi pertama hikikomori) berusia 40-an tahun. Hikikomori generasi pertama ini diyakini memutuskan hubungan sosial mereka selama lebih dari 20 tahun.

Pemerintah Jepang, seperti dilansir dari The Japan Times mengestimasikan sekitar 1,55 juta jiwa sedang berada di ambang menjadi hikikomori. Sementara itu, Saito sendiri memperkirakan jumlah hikikomori di Jepang sudah mencapai angka 1 juta jiwa dengan 70-80 persennya adalah laki-laki.

Sulitnya mencatat angka yang tepat ini disebabkan oleh hikikomori yang pada umumnya menghilangkan diri dan keengganan orang tua untuk membicarakan masalah ini.

Mengapa hikikomori bisa merebak di Jepang?

Faktor utama merebaknya fenomena ini di Jepang adalah tekanan sosial. Hikikomori—biasanya kalangan remaja—terjadi karena kultur budaya masyarakat Jepang yang kaku dan keras. Jepang mempunyai kultur masyarakat di mana anak laki-laki mendapat tekanan lebih untuk sukses dalam bidang akademik dan pekerjaan dibanding anak perempuan.

Itulah mengapa sebagian besar hikikomori didominasi oleh kaum adam.

Dalam kultur masyarakat Jepang, remaja yang sudah memasuki usia produktif dipandang harus sudah bisa mengatur diri dan hidup mapan. Celakanya, banyak remaja yang gagal dipandang sebagai sebuah stigma, bukan simpati.

Tidak hanya remaja atau orang dewasa, banyak dari anak-anak hingga balita di Jepang sekarang sudah mulai mendapat tekanan. Mereka ditekan oleh ekspektasi dan persaingan ketat sejak mulai ujian masuk taman kanak-kanak.

Orang tua menganggap hal ini wajar sebagai upaya agar anak mereka bisa sekolah di tempat terbaik. Hal ini kemudian berlanjut hingga mereka sampai di tahap kuliah. Banyak remaja muda yang memutuskan untuk nganggur dulu setahun setelah tamat SMA untuk belajar mati-matian menembus ujian masuk kuliah. Mereka-mereka ini lazim diistilahkan sebagai ronin.

Faktor lainnya adalah kondisi ekonomi Jepang yang stagnan dan cenderung merosot sejak tahun 90-an. Hal ini menyebabkan lapangan pekerjaan semakin terbatas dan persaingan semakin ketat.

Para remaja yang tertekan oleh tindakan orangtuanya itulah yang menyebabkan mereka mengurung diri sebagai tindakan perlawanan dan ketidakpercayaan akan kemampuannya menuruti keinginan orang tua.

Remaja yang gagal—seperti gagal masuk universitas bergengsi—akan menjadi Not enganged in Employment, Education, and Training (NEET) dan menanggung aib kegagalannya dengan mengurung diri.

Mereka menjadi hikikomori agar terlepas dari persaingan pelajar dan pekerjaan dan dapat melakukan apapun yang mereka sukai dengan anggapan semakin cepat terlepas dari tekanan.

Hikikomori yang masih mempunyai orang tua mengurung diri di kamarnya dan mendapat makanan dari orang tuanya. Orang tuanya tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak anaknya dan tidak mengadukannya ke psikiater karena dianggap aib keluarga.

Selain itu, dalam kultur Jepang terdapat amae, di mana ada kecenderungan orang tua untuk tetap lengket pada anaknya sehingga tidak sampai hati mengusirnya dari rumah.

Sementara itu, hikikomori yang hidup sendiri keluar kamar secara mingguan atau bulanan pada malam hari ke minimarket untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka biasanya mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan dari dalam rumah, apalagi sekarang sudah era internet.

Jepang sendiri punya solusi untuk permasalahan sosial ini. Mereka telah mengurangi hari sekolah hingga mata pelajaran untuk mengurangi tekanan. Kontras dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang justru menambah jam sekolah.

Selain itu, pemerintah Jepang membangun ibasho, tempat nyaman bagi hikikomori untuk memperkenalkan dirinya di khalayak ramai. Saito dan Teo juga punya pendekatannya sendiri pada hikikomori. Mereka memulainya dengan mengatur hubungan hikikomori dengan orang terdekat sampai mereka dapat menerima dunia luar sebelum direhabilitasi.

Menjaga komunikasi yang baik satu sama lain serta saling terbuka juga menjadi kunci utama pencegahan agar mereka tidak tertekan dan terjerumus ke dalam hal-hal negatif.

Hal ini penting untuk diketahui karena fenomena ini sudah merebak sampai Amerika Serikat, Spanyol, hingga Prancis. Siapa tahu di Indonesia—atau ada dari beberapa teman-temanmu—juga mengalami fenomena serupa.

Seperti Hide yang menjadi hikikomori di awal artikel, sekarang sudah memasuki masa penyembuhan karena terapi dan ibasho. Ia juga sudah punya pekerjaan paruh waktu. Jadi, masih ada masa depan.

Epilog

Kembali lagi ke dalam buku Shutting Out the Sun oleh Zielenziger, ada satu paragraf yang menusuk tentang seorang ibu yang berusaha memahami anaknya yang mengurung diri.

“Hikikomori adalah anak-anak yang menghormati penghargaan terhadap diri dan tanggung jawab… mereka bisa melihat itu, tetapi tak bisa berbicara karena tidak ada tempat di masyarakat Jepang yang membolehkannya. Jadi kalau ada orang yang menentang kondisi ini atau justru membikin kesalahan sendiri, tinggalkan Jepang atau menjadi hikikomori.”

Referensi :
duniaku.net